Powered By Blogger

Rabu, 26 November 2014

 

Saketi Bayah, Jalur KA Maut Di Banten



Tahukah Anda : “Jalur KA Saketi-Bayah adalah Jalur Death Railway  yang banyak memakan korban  jiwa..?”




Jalur Kereta Api  Saketi – Bayah pada saat pembangunannya banyak memakan korban ribuan manusia, dengan jumlah korban fantastis yang terdiri dari tawanan perang / Prisoner Of War (POW) Sekutu dan Romusha. Berikut ini adalah beberapa tulisan yang berkaitan dengan Jalur Kereta Api Saketi – Bayah yang fenomenal itu, tulisan yang saya kutip dari beberapa postingan di internet ini, mudah-mudahan menjadi referensi bagi kita semua.

Pembangunan jalan kereta api punya arti sangat strategis bagi kelanjutan ekspansi tentara Jepang pada Perang Dunia ke-II, dan dikerjakan dengan Sistim Kerja Paksa (slave labour) Romusha dan tawanan perang / Prisoner Of War (POW
Perihal jalur kereta api maut, sejarah mencatat, Jepang menorehkan kisah kejam  di Banten Selatan jalur Saketi – Bayah. Sebelumnya, Jepang sudah membuka jalur kematian dari Thailand ke Burma. Sebuah jalur kereta api yang juga sudah direncanakan oleh pemerintah Inggris, namun karena kondisi alam yang berat maka rencana itu dikesampingkan. Jepanglah yang kemudian mengacak-acak dokumen Belanda dan Inggris dan menemukan rencana jalur tersebut untuk kemudian mewujudkannya melalui tangan, darah, dan nyawa para Romusha yang tak hanya terdiri atas bangsa Indonesia tapi juga Australia, Inggris, Amerika, dan Belanda.
Jadi selama Perang Dunia II (1938-1945) Jepang membangun tiga jalur kereta api di dua wilayah di Asia Tenggara yaitu jalur Thailand-Burma, Muaro Sijunjung-Pekanbaru, dan jalur Saketi-Bayah.  Jepang menggunakan tahanan yang dipaksa kerja dan seperti dikirim ke neraka karena puluhan ribu jiwa melayang dalam proyek pembangunan jalur kereta api tersebut. Jalur kereta api di dua wilayah Indonesia itu tak lagi bersisa, seperti juga tragedi kekejaman Jepang yang seakan terlupakan.
Jalur Saketi – Bayah (Death Railway) pembangunannya dilaksanakan pada tahun 1942-1945.  Pembangunan jalan KA Saketi-Bayah juga merupakan bagian dari strategi perang Jepang bertujuan ganda : pertama mengangkut batu bara dari tambang batu bara Cikotok yang merupakan bahan bakar kereta api dan kapal zaman itu, kedua guna menghindarkan angkutan laut yang sudah mulai terancam oleh serangan torpedo kapal selam sekutu.  Pembangunannya juga dilakukan dengan menggunakan tenaga romusha tanpa POW, tapi melibatkan sejumlah tenaga ahli perkereta apian Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang.
Pekerjaan penambangan batu bara inipun dikerjakan dengan penggunaan tenaga romusha. Bantalan kayu dan rel untuk pembangunan jalan KA ini diambil dari seluruh Jawa, sebagaimana halnya juga dengan tenaga romusha yang kebanyakan berasal dari Jawa Tengah, seperti dari Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain. Pembangunan jalan kereta api sepanjang  89 km ini menelan korban yang diperkirakan mencapai 93.000 jiwa romusha.
Bayah yang sibuk dengan aktivitas  pembuatan jalan kereta api dan penambangan batu bara inilah yang juga terkait dengan cerita seputar Tan Malaka. Diceritakan bahwa dikota kecil Bayah inilah Tan Malaka  pernah menetap. Kota yang merupakan tempat yang aman bagi persembunyian Tan Malaka, dan tempat yang cukup tenang guna meneruskan aktivitasnya menuliskan buah-buah pemikirannya tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Walau kisah sejarah ini sangat mencekam dilihat dari korban jiwa romusha yang fantastis itu, ternyata saat ini jejak-jejak sejarah itu sudah hampir-hampir lenyap. Masyarakat banyak yang hanya pernah mendengar kisah ini dan hampir semuanya sekarang bersikap acuh tak acuh. Tempat-tempat yang dulu dikenal sebagai sumur romusha, stasiun Kereta Api, goa-goa bekas penambangan batu bara, semua sudah sulit ditemukan. Rel-rel untuk angkutan batu bara sudah habis diangkut tukang besi untuk dijual.
Satu-satunya apresiasi yang pernah diberikan terhadap para korban ini adalah kehadiran sebuah monumen berupa tonggak setinggi 3 meter, yang terletak di sebelah SLTPN 1. Tugu yang dikhabarkan dibangun oleh Tan Malaka ini berada dalam kondisi tidak terawat dan terkesan diabaikan. Berikut ini adalah beberapa kisah seputar jalan kereta api maut Saketi-Bayah yang diambil dari sejumlah posting di internet :
Jalur Banten Selatan Saketi – Bayah  (Jan de Bruin)

Stasiun Kereta Api Saketi
Setelah tahun 1943, kesulitan hubungan laut  (akibat kegiatan kapal selam Sekutu) menimbulkan masalah bahan bakar di Jawa. Sebelum perang, sebagian besar lokomotif menggunakan bahan bakar batu bara, dan sebagiannya kayu jati. Produksi kayu per tahun adalah sekitar 300 ribu ton, sebagian besarnya dari Dinas Kehutanan (Boschwezen = Perhutani). Untuk kepentingan perusahaan kereta api, diperlukan 900 ribu ton kayu bakar per tahunnya. Maka, sejak tahun 1942, Jepang memiliki gagasan untuk memanfaatkan batu bara muda di sekitar Bayah sebagai bahan bakar.
Jepang mendapatkan sebuah laporan dari sekitar tahun 1900 bahwa cadangan batu bara muda di Bayah mencapai 20-30 juta ton. Jepang memperkirakan bahwa produksi batu bara pertahun mungkin mencapai 300 ribu ton. Namun cadangan batu bara tersebut tersebar di lahan yang luas dan terisolasi. Lapisan batu bara itu juga tipis, hanya sekitar 80 cm, sehingga eksploitasi besar-besaran pada masa damai tidak akan ekonomis. Namun ini adalah masa perang.
Untuk bisa mengeksploitasi tambang-tambang itu, dibangun jalur sepanjang 89 km dari Saketi (sebuah  stasiun di jalur Rangkasbitung-Labuan) ke Bayah, di selatan Banten. Rencana jalur mulai dirancang pada bulan Juli 1942, dan pembangunan dimulai awal tahun 1943. Bantalan kayu dan rel dikirim dari seluruh Jawa ke Saketi. Sejak awal tahun 1943 banyak pakar perkeretaapian Belanda dipaksa untuk menyumbangkan keahlian dan pengetahuan mereka untuk pembangunan jalur ini.
Seperti juga di Sumatera, kerja terberat dalam pembangunan jalur ini dilakukan oleh para Romusha. Banyak dari mereka menjadi korban karena kekurangan makan dan penyakit tropis. Angka yang diberikan bervariasi dari 20 hingga 60 ribu, belum termasuk 20 ribu pekerja tambang yang tewas. Daerah berpenduduk jarang ini masih merupakan rimba, rawa-rawa dan bukit-bukit, penuh dengan hewan buas. Ditambah dengan kerja keras dan ketiadaan obat-obatan, tidak kurang dari 500 romusha setiap harinya tewas, namun setiap harinya jumlah yang lebih besar direkrut untuk menjadi pekerja. Pada masa pembangunan jalur ini sekitar 25-55 ribu pekerja membangun jalur ini. Sejauh diketahui, tidak ada tawanan perang yang dipekerjakan untuk membangun jalur ini. Pada bulan Maret 1944 jalur telah siap, dan dibuka pada 1 April 1944 (tepat 61 tahun yang lalu!) oleh para pejabat Jepang. Lokomotif BB10.6 menarik kereta pertama di jalur ini.
Jalur ini berawal di stasiun Saketi, dan berakhir di Gunungmandur, letak tambang batu bara yang terjauh. Stasiun Gunungmandur terletak dua kilometer dari stasiun Bayah. Jalur sepur tunggal ini memiliki sembilan stasiun dan lima halte (yaitu Cimangu, Kaduhauk, Jalupang, Picung, Kerta, Gintung, Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara, Panyawungan, Bayah dan Gunungmandur).
Masing-masing stasiun setidaknya memiliki dua jalur dan bangunan stasiun kecil; Bayah memiliki lima jalur. Selain stasiun Gunungmandur, tujuh stasiun yang lebih kecil dilengkapi dengan sinyal dengan handel kayu. Bayah menggunakan sinyal Alkmaar. Setiap harinya maksimum 300 ton batu bara muda dibawa ke Saketi. Selain batu bara, ada pula kereta api
penumpang, namun karena daerah ini berpenduduk  jarang, sebagian besar penumpang adalah pekerja kereta api atau pekerja tambang. Setiap harinya 800 penumpang bepergian, yang diangkut dengan 15 kereta kelas 3.
Jalur ini dibangun relatif lebih kokoh daripada jalur Pekanbaru, dengan 20 jembatan, semuanya dengan ujung-ujung dari batu. Untuk pembangunan jalur Banten Selatan ini digunakan material kereta api dari pabrik-pabrik gula yang ditutup dan lok tram PsSM No. 12 (B16). Setelah beroperasi, digunakan material SS dan lok BB10.
MENYUSURI JEJAK ROMUSH

DEBUR ombak pantai selatan itu menjadi saksi bisu atas penderitaan ribuan orang, sekitar 60 tahun silam. Namun, kini jejak-jejak kekejaman yang menewaskan ribuan rakyat Indonesia itu mulai terhapus oleh sikap acuh tak acuh generasi zaman ini. Sejarah romusha di Pulau Manuk, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, itu kini terancam hilang dari kenangan.
SATU-satunya apresiasi terhadap kegetiran para romusha itu hanyalah berupa tonggak monumen yang berlokasi di sebelah SLTPN 1 Bayah, tak jauh dari Kantor Camat Bayah. Itu pun kurang terawat dan terkesan diabaikan.
Pekan ketiga bulan Juli lalu, bangunan bersisi empat dengan tinggi sekitar tiga meter tersebut mulai menghitam. Rumput-rumput liar memenuhi gundukan tanah pinggir jalan raya, tempat Monumen Romusha itu dibangun.
Bendera merah-putih tidak terpasang sempurna karena kaitan bagian merah terlepas. Merah-putih yang tidak bisa berkibar seolah mengabarkan ketidakberdayaan para romusha di bawah kekejaman penjajah Jepang, tahun 1942-1945.
Pareno (87), salah satu mantan romusha itu, tertegun sejenak ketika menunjukkan lokasi stasiun, tempat parkir berbagai lokomotif kereta api zaman Jepang, di kawasan pantai Pulau Manuk. Bekas stasiun itu hanya menyisakan pal-pal pondasi yang penuh rumput dan tanaman liar.
Tidak jauh dari tempat itu, kuburan para romusha malah tidak ada lagi tanda-tandanya. Kuburan itu hanyalah tanah kosong di sela-sela semak di pantai Pulau Manuk, yang sering terempas ombak ketika laut pasang.
“Tanah di sini sudah dikapling-kapling dan kebanyakan punya orang Jakarta,” tutur Pareno yang menjadi pemandu dadakan saat menyusuri jejak romusha di tempat itu. Selain Monumen Romusha, perlu kerja keras untuk menemukan jejak-jejak romusha di Bayah.
Sumur romusha, stasiun kereta api, goa-goa bekas tambang batu bara di zaman penjajahan Jepang, kuburan romusha, makanan romusha, dan hal-hal lain yang berbau romusha seperti punah begitu saja. “Rel-rel kereta api untuk angkutan batu bara zaman Jepang sudah habis diangkut tukang besi dan dijual,” ujarnya.
Sumur romusha, tempat para romusha mengambil air untuk minum yang terletak di lahan perkebunan, belakang SLTPN 1 Bayah, kini tertutup tanaman liar. Jenis sayuran yang dahulu dikonsumsi para romusha, seperti sayur bunga karang, sayur ganggang laut, dan lodeh empot, sudah sulit didapat di Pasar Bayah.
Upacara peringatan romusha oleh masyarakat setempat, berupa atraksi atau karnaval, pun sudah lama tidak digelar. Menurut Pareno, sudah empat tahun terakhir desanya tidak menggelar peringatan itu seiring dengan meninggalnya para bekas romusha. “Anak-anak muda sekarang malu memperingati upacara itu. Mereka malu kalau diketahui keturunan bekas romusha,” ungkapnya.
Andaikata semua itu masih terawat, niscaya akan menjadi obyek wisata sejarah, melengkapi wisata pantai yang membentang di pesisir Banten Selatan. Keindahan panorama pantai akan diperkaya oleh kedalaman perenungan batin atas perjalanan sejarah negeri ini.
PULAU Manuk adalah salah satu dari beberapa lokasi di Bayah yang menjadi saksi bisu aksi penindasan Jepang terhadap para romusha. Kawasan yang berjarak sekitar lima kilometer dari kota Kecamatan Bayah atau pertigaan Terminal Bayah itu bisa dicapai dari berbagai jurusan. Dari Jakarta, Bayah bisa ditempuh melalui Sukabumi-Pelabuhanratu (Jawa Barat), atau melalui Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak (Banten). Jika melalui Pelabuhanratu, jalur yang dilewati, antara lain Cisolok-Cipicung-Cikotok-Bayah atau Cisolok-Cibareno-Bayah.
Jalur Cisolok – Cibareno – Bayah akan melewati beberapa jalan mendaki dan menurun, tetapi pengunjung akan mendapat suguhan panorama laut selatan, seperti Pantai Cibangban, Cibareno, dan seterusnya. Indahnya pantai selatan di kiri jalan, yang diselingi dengan liukan nyiur dan hamparan sawah di dekat pantai, bisa dinikmati di jalur selatan itu hingga Muarabinuangeun.
Namun, jika menyetir mobil, perlu berhati-hati dan jangan sampai terlena pada keindahan pantai selatan. Di sepanjang jalur selatan itu, masih banyak jalan berlubang kendati masih layak untuk dilalui. Di samping itu, situasi jalan di tempat-tempat tertentu pada jalur itu kadang-kadang sepi.
Jika melalui Rangkasbitung, jalur yang dilewati, antara lain, yaitu Saketi (Pandeglang)-Malingping-Bayah. Sebelum sampai Malingping, pengunjung akan melewati jalan berliku-liku di antara permukiman warga dan area perkebunan dengan kondisi jalan yang sebagian bagus, tetapi sebagian sudah rusak. Setelah melewati Malingping ke arah Bayah, pemandangan pantai selatan terhampar di kanan jalan.
Selain terkenal dengan sejarah romusha, Bayah juga tercatat dalam buku sejarah sebagai tempat persembunyian tokoh Tan Malaka. Di Banten Selatan itu, ia pernah menyamar sebagai mandor pertambangan batu bara dengan nama samaran Ilyas Husein. Tan Malaka sempat mengorganisasi para romusha, membentuk kelompok drama, dan menyelesaikan karya magnum opus-nya, Madilog.
Pada zaman penjajahan Jepang, tulis Adhy Asmara dalam Pesona Wisata Zamrud Katulistiwa Banten, kapal-kapal perang Jepang banyak yang melakukan pendaratan di seputar muara Cimadur, Pantai Bayah. Saat itu, Bayah dikenal sebagai penghasil utama batu bara, yang digunakan untuk bahan bakar kereta api, kapal laut, dan pabrik.
Penambangan batu bara, antara lain dengan pembuatan lubang-lubang tambang batu bara di Gunung Madur serta pembuatan rel kereta api Bayah-Seketi untuk mengangkut batu bara, diperkirakan memakan korban kurang lebih 93.000 romusha. Pareno mengungkapkan, sebagian besar romusha itu didatangkan dari Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi,Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain.
SEJARAH Romusha di Bayah merupakan potensi wisata sejarah yang diabaikan. Potensi itu sebenarnya akan melengkapi potensi wisata pantai selatan dan wisata ke gua-gua alam. Namun, semua potensi tersebut kurang digarap sehingga terkesan merana.
Adhy Asmara dalam buku yang sama menyebutkan, kawasan Pulau Manuk telah ditata menjadi Desa Wisata Romusha Pulau Manuk. Akan tetapi, saat menyusuri kawasan itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda tempat itu telah dijadikan desa wisata.
Sejarah romusha di Banten Selatan-seperti sejarah di balik Tembok Berlin (Jerman), kisah di balik Tugu Tiananmen (China), atau cerita kekejaman Nazi di Monumen Kebangkitan 1944 di Warsawa (Polandia)- sebenarnya bisa dijadikan obyek wisata untuk mengenang luka sejarah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar